Mekanisme Reaksi Substitusi Nukleofilik SN2

Reaksi SN2
Reaksi SN2 adalah suatu jenis mekanisme reaksi substitusi nukleofilik dalam kimia organik. Dalam mekanisme ini, salah satu ikatan terputus dan satu ikatan lainnya terbentuk secara bersamaan, dengan kata lain, dalam satu tahapan reaksi. Karena dua spesi yang bereaksi terlibat dalam suatu tahapan yang lambat (tahap penentu laju reaksi), hal ini mengarah pada nama substitusi nukleofilik (bi-molekular) atau SN2, jenis mekanisme utama lainnya adalah SN1. Jenis reaksi ini sangat umum dan karenanya memiliki bermacam-macam nama, seperti “sustitusi nukleofilik biomolekuler” atau diantara kimiawan organik, “substitusi asosiatif” atau “mekanisme pertukaran”.

Mekanisme Reaksi


Pemerian terinci mengenai bagaimana reaksi berlangsung disebut mekanisme reaksi. Suatu mekanisme reaksi harus bisa menjelaskan semua fakta yang diketahui. Untuk beberapa reaksi, diketahui banyak fakta, dan untuk itu mekanisme-mekanisme reaksi tertentu telah disepakati oleh kebanyakan pakar kimia. Sementara itu mekanisme reaksi-reaksi lain masih sangat bersifat dugaan (speculative). Reaksi SN2 adalah salah satu yang telah dipelajaru secara meluas; terdapat sejumlah besar data eksperimen yang mendukung mekanisme yang akan dibahas sekarang.
Agar bereaksi pertama-tama molekul-molekul itu harus saling bertabrakan. Molekul-molekul yang bertabrakan itu harus menganndung cukup energi potensial agar terjadi pematahan ikatan.
Stereokimia Reaksi SN2
       Dalam reaksi SN2 antara bromoetana dan ion hidroksida, oksigen (dari) ion hidroksida menabrak bagian belakang karbon ujung dan menggantikan ion bromida:
Reaksi SN2 keseluruhan:

Bila sebuah nukleofilik menabrak sisi belakang suatu atom karbon tetrahedral yang terikat pada sebuah halogen, dua peristiwa terjadi sekaligus: (1) suatu ikatan baru mulai terbentuk, dan (2) ikatan C-X mulai patah. Proses ini disebut proses setahap atau proses serempak (concerted). Jika energi potensial kedua spesi yang bertabrakan cukup tinggi, tercapai suatu titik di mana, dilihat dari segi energi, pembentukan ikatan baru dan pematahan ikatan C-X lama dimudahkan.
Untuk reaksi SN2 itu, keadaan transisi mencakup suatu rehibridisasi sementara (dari) atom karbon ujung, dari sp3 ke sp2 dan akhirnya kembali ke sp3 lagi. Dalam keadaan transisi itu, atom karbon tersebut mempunyai tiga ikatan sp2 datar ditambah dua setengah ikatan yang mengggunakan orbital.

Jika substrat yang menjadi target serangan nukleofilik bersifat kiral, reaksi ini terkadang mengarah pada konfigurasi yang disebut sebagai inversi Walden. Sebagai contoh reaksi SN2, penyerangan Br- (nukleofil) pada suatu etil klorida (elektrofil) menghasilkan etil bromida dengan klorida lepas sebagai gugus pergi:
Penyerangan pada SN2 dapat terjadi jika rute sisi belakang penyerangan tidak terdapat halanganW sterik oleh substituen atau substrat.


Energi dalam Suatu Reaksi SN2

Agar suatu reaksi dapat mulai terjadi, beberapa molekul dan ion yang bertabrakan dalam wadah itu harus memiliki cukup energi untuk mencapai keadaan transisi pada waktu bertabrakan.
 

Gambar 5.1 menunjukkan diagram energi untuk berlangsungnya reaksi SN2. Energi potensial yang dibutuhkan untuk meencapai keadaan transisi membentuk suatu barier energi; dalam grafik barier ini ialah titik energi maksimum. Agar alkil halida dan nkleofil yang bertabrakan dapat mencapai keadaan transisi, diperlukan sejumlah energi yang disebut energi pengaktifan Eakt (activation energy).

Adapun ciri-ciri reaksi SN2 adalah:
  1. Karena nukleofil dan substrat terlibat dalam langkah penentu kecepatan reaksi, maka kecepatan reak tergantung pada konsentrasi kedua spesies tersebut.
  2. Reaksi terjadi dengan pembalikan (inversi) konfigurasi. Misalnya jika mereaksikan (R)-2-bromobutana dengan natrium hidroksida menyerang dari belakang ikatan C-Br. Pada saat substitusi terjadi, ketiga gugus yang terkait pada karbon sp3 kiral itu seolah-olah terdorong oleh suatu bidang datar sehingga membalik. Karena dalam molekul ini OH mempunyai prioritas yang sama dengan Br, tentu hasilnya adalah (S)-2-butanol. Jadi reaksi SN2 memberikan hasil inversi.
  3. Jika substrat R-L bereaksi melalui mekanisme SN2, reaksi terjadi lebih cepat apabila R merupakan gugus metil atau primer, dan lambat jika R adalah gugus tersier. Gugus R sekunder mempunyai kecepatan pertengahan. Alasan untuk urutan ini adalah adanya efek rintangan sterik. Rintangan sterik gugus R meningkat dari metil < primer < sekunder < tersier. Jadi keccenderungan reaksi SN2 terjadi pada alkil halida adalah: metil > primer > sekunder > tersier.

Permasalahan:
  1. Apa yang dibutuhkan oleh alkil halida dan nukleofil yang bertabrakan untuk mencapai keadaan transisi?
  2. Penyerangan pada SN2 dapat terjadi jika rute sisi belakang penyerangan tidak terdapat halangan sterik oleh substituen atau substrat. Mengapa hal ini bisa terjadi?
  3. Mengapa tiap molekul yang bereaksi dan menghasilkan produk harus melewati keadaan transisi, baik strukturnya maupun energinya? Dan apa yang terjadi jika struktur dan energinya tidak melewati keadaan transisi?

DAFTAR PUSTAKA
Fessenden, Ralp J and Joan S. Fessenden. 1986. Kimia Organiik jilid 1, 3ed. Terjemahan A. Jakarta: Erlangga.

Komentar

  1. Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, perkenalkan nama saya SITI MUNAWAROH dengan NIM RSA1C117003, di sini saya ingin membantu menjawab permasalahan nomor 2, Menurut literatur yang saya baca, penyerangan pada SN2 dapat terjadi jika rute sisi belakang penyerangan tidak terdapat halangan sterik oleh substituen atau substrat, karenanya mekanisme ini biasanya terjadi pada suatu pusat karbon primer yang tak terhalang. Jika terdapat halangan sterik pada substrat dekat gugus pergi, seperti pada pusat karbon tersier, substitusi yang terjadi lebih disukai mengikuti mekanisme SN1 dibanding SN2 (SN1 dapat pula disukai bila zat antara karbokation yang stabil dapat terbentuk).
    Sekian terimakasih semoga bermanfaat.

    BalasHapus
  2. Assalamu'alaikum
    Saya Anis Nabila(RSA1C117014) ingin menjawb pertanyaan no 1 saudari, untuk mencapai suatu keadaan transisi harus mengandung cukup energi potensial dimana kedua spesi yang bertabrakan cukup tinggi, tercapai suatu titik dimana dilihat dari segi energi, pembentukan ikatan baru dan pematahan ikatan C-X dan melewati suatu keadaan antara(keadaan transisi) karena keadaan transisi melibatkan 2 partikel (Nu dan RX) maka reaksi SN2 dikatakan bersifat bimolekular
    Semoga bermanfaat,terimakasih.

    BalasHapus
  3. Assalamualaikum wr.wb
    Perkenalkan nama saya Endah Sulityawati (RSA1C117013) akan mencoba menjawab permasalahan saudari nomor 3, yaitu tiap molekul yang bereaksi dan menghasilkan produk harus melewati keadaan transisi, baik strukturnya maupun energinya. Karena energi molekul-molekul tidak sama, maka diperlukan waktu agar semua molekul itu bereaksi. Dan pada keadaan transisi, nukleofil dan gugus pergi berasosiasi dengan karbon di mana substitusi akan terjadi. Pada saat gugus pergi terlepas dengan membawa pasangan elektron, nukleofil memberikan pasangan elektronnya untuk dijadikan pasangan elektron dengan karbon. Jadi, jika reaksi tidak melewati keadaan transisi maka reaksi substitusi tersebut tidak dapat terjadi.
    Terima kasih, semoga membantu :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer